Sabtu, 30 Januari 2010

Pentingnya Menjaga Hawa Nafsu

Hawa Nafsu
Hawa nafsu terdiri dari dua perkataan: hawa dan nafsu. Ada sekolompok orang menganggap hawa nafsu sebagai "syaitan yang bersemayam didalam diri manusia," yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran. Memperturuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang. Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafsu dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketenteraman,keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan). Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan dijalur-jalur yang benar sajalah menusia dapat mencapai hal tersebut. Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tak ada selera terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis lainnya niscaya tidak akan tergerak untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis tersebut.Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya. Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang ditimbulkannya. Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

Untuk mengenal posisi hawa nafsu dalam jiwa dan perannya dalam kehidupan manusia, saya perlu menegaskan bahwa Allah swt telah memasang beberapa sumber gerak dan kesadaran manusia. Semua gerak -aktif ataupun reaktif- dan kesadaran manusia bermuara dari sumber-sumber ini. Tercatat ada enam sumber penting, yang terutamanya adalah hawa nafsu, sebagai berikut.
1. Fithrah, yang telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan. hasrat dan gaya tarik menuju dan mengenal-Nya dan meraih keutamaan-keutamaan akhlak, seperti kesetiaan, ‘iffah (harga diri), belas kasih dan murah hati.
2. ‘Aql, adalah titik pembeda manusia.
3.Irâdah, adalah pusat keputusan dan yang menjamin kebebasan manusia (dalam mengambil keputusan) dan kemerdekaannya.
4.Dhamir, yang berfungsi sebagai mahkamah dalam jiwa. Ia bertugas mengadili, mengecam dan melakukan penekanan terhadap manusia demi menyeimbangkan prilakunya.
5.Qalb, fuad dan shadr, merupakan jendela lain bagi kesadaran dan pengetahuan, sebagaimana kita pahami melalui ayat-ayat Alquran, yang dapat menerima atau menampung pencerahan Ilahi.
6.Al-hawa, adalah kumpulan berbagai nafsu dan keinginan dalam jiwa manvisia yang menuntut pemenuhan secara intensif. Bila tuntutannya terpenuhi, iadapat memberi manusia kenikmatan tersendiri.

Hidup ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu (syetan). Kadangkala kita menang dan kadangkala kita kalah melawan hawa nafsu syetan kita. Imam Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu. Yang pertama, nafsu muthmainnah (nafsu yang tenang), yakni ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Yang kedua, nafsu lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yakni ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Yang ketiga adalah nafsu la’ammaratu bissu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yakni ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. ahli sejarah Gibbon mengatakan bahwa keruntuhan bangsa besar Romawi ditandai oleh ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Para pejabat negara lebih mengutamakan interes dan kepentingan pribadi. Hukum tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya. Hal yang sama terjadi di dunia Islam. Sebelum jatuhnya kota Baghdad yang pernah menjadi pusat peradaban dunia ke tangan bangsa Tatar yang berarti berakhirnya dinasti Abbasiyah, para petinggi Abbasiyah umumnya hanya mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka suka bermewah-mewah menurutkan hawa nafsu.

Dalam bahasa Psychology hawa nafsu diartikan keinginan diri, sedangkan nafsu adalah egoisme. Kecenderungan kita adalah untuk memuaskan keinginan-keinginan jasmaniah, merasa dianggap penting dsb. Dalam pembahasan tasawuf, hawa nafsu itu memiliki kekuatan yang dibawa sejak lahir.Dalam diri kita bersemayam tiga kekuatan hawa nafsu. Pertama, kekuatan kebinatangan (quwwah bahimiyah). Kekuatan dalam diri kita ini mendorong untuk mencari kepuasan lahiriah. Kedua, disebut kekuatan binatang buas (quwwah sabi'iyah). Kita senang menyerang orang lain, memakan hak orang lain atau membencinya. Ketiga, kekuatan setan (quwwah syaytaniyah) ,, ini adalah kekuatan membenarkan kejahatan yang telah dilakukan. Selain diisi nafs, dalam tubuh manusia juga memiliki ruh, yang memiliki potensi (motive) yang berasal dari cahaya-Nya, kekuatan ini disebut (quwwah rabbaniyah). Ahli psikologi menyebutnya potensi keberagamaan, posisi ini ada pada akal sehat. Sufi menyebutnya hati nurani. Apabila kita mengerjakan sesuai hawa nafsu maka hakikatnya kita adalah binatang secara ruhaniah, walaupun ujud fisiknya adalah manusia. Bahkan Al Quran menyebutnya lebih rendah dari binatang alasannya binatang tidak diberi akal fikiran, tetapi manusia memilikinya sementara tidak difungsikan. Apabila kita senang dengan sifat-sifat negatif seperti marah, dendam, benci, iri-hati, hasud/dengki. Bahkan bila kita membenarkan kesalahan kita maka hakikatnya kita adalah setan yang berujud manusia. Sebaliknya bila hati nurani/qolbu/ akal sehat kita difungsikan dengan baik sehingga mampu mengalahkan ketiga hawa nafsu, maka kita akan dibimbing oleh hatinurani/akalseha t/qolbu untuk berjalan mendekati Allah Ta'ala.

Al Ghazali menggambarkan qolbu itu seperti cermin, sedangkan noda-noda dosa ini seperti kotoran, hawa nafsu itu seperti cermin yang kotor, sehingga bila cermin itu dibersihkan maka ruhaniyah kita menjadi transparan. Sehingga ruhani kitapun mampu mendekati Allah Taala.
Untuk itu, pengendalian hawa nafsu, yang di antara caranya dengan memfungsikan indera-indera kita, terutama pendengaran, hati, dan penglihatan, untuk mendengar, memahami, dan melihat ayat-ayat Allah baik yang tertulis di dalam Alquran maupun yang tidak (memperhatikan alam semesta), serta membaca sejarah. Orang-orang yang tidak memfungsikan hati, penglihatan, dan pendengaran mereka secara baik, tempat kembalinya adalah neraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar